top of page
Writer's pictureReynitta Poerwito

Childhood Trauma: Do I still have it?

Childhood trauma atau trauma masa kecil disebabkan oleh pengalaman negatif yang terjadi di masa lalu (biasanya pada usia tumbuh kembang anak antara 2th-17th). Dalam perjalanan membangun keluarga pasti akan ada pengalaman yang menyakitkan, mengecewakan, membuat marah, menyedihkan dan lain sebagainya. Hal tersebut sudah terbilang wajar atau lumrah terjadi. Tetapi, bila seorang anak merasakan pengalaman negatif secara terus menerus atau intens, anak tersebut bisa menjadi overwhelmed atau kewalahan dengan beban psikologis yang disebabkan oleh pengalaman itu. Nah, dalam artikel ini aku mau membahas tentang childhood trauma yang disebabkan oleh pola asuh orangtua saja ya. Karena, childhood trauma itu juga bisa disebabkan oleh situasi seperti, bencana alam, kecelakaan, masalah medis, dan lain sebagainya.


Pengalaman apa saja dalam keluarga yang bisa mempengaruhi timbulnya Childhood Trauma?

  • Pola didik yang keras dan kurang fleksibel

  • Konflik orangtua yang berkepanjangan dan terlihat oleh anak

  • Bullying

  • Physical abuse

  • Emotional abuse/neglect

  • Sexual abuse

  • Terlalu banyak kritik dari orangtua

  • Kurangnya afeksi dan perhatian dari orangtua

  • Minimnya komunikasi antara orangtua-anak

  • Hubungan adik/kakak yang penuh konflik

  • Ekspektasi orangtua yang terlalu tinggi

  • Perpisahan orangtua yang penuh konflik

  • Dan lain sebagainya

Bila melihat list diatas, sepertinya setiap anak akan mengalami 1 atau lebih situasi yang dituliskan ya. Seperti yang sudah aku bahas tadi, setiap keluarga tidak ada yang sempurna sehingga seorang anak dalam masa tumbuh kembangnya akan mengalami pengalaman negatif dan hal itu tidak bisa dihindari lagi. Tapi, apa sih yang membuat 1 anak berbeda dengan anak lainnya padahal mungkin mereka mengalami peristiwa yang hampir sama, tetapi kenapa pengalaman negatif bisa menjadi trauma bagi 1 anak dan untuk anak lainnya tidak mempengaruhi kondisi psikologisnya?


Setiap anak memiliki daya tahan terhadap tekanan yang berbeda-beda. Sehingga bisa membuat sebuah peristiwa negatif memiliki dampak yang berbeda kepada 1 anak dan anak lainnya.

Jadi, setiap anak itu memiliki daya tahan terhadap tekanan yang berbeda-beda. Nah, kemampuan mengatasi tekanan atau stress sangat dipengaruhi oleh hal tersebut. Jadi mungkin saja bagi anak yang sensitif sebuah pengalaman bisa menjadi trauma dan bagi anak lainnya tidak. Selain itu, karakter dan penyelesaian konflik dari keluarga juga pasti akan mempengaruhi membekas atau tidaknya pengalaman negatif itu. Misalnya, orangtua yang membiasakan untuk memberikan pengertian kepada anak-anaknya setelah marah atau meluapkan emosi yang tinggi, bisa mengurangi timbulnya trauma dalam diri anak tersebut bila dibandingkan dengan orangtua yang tidak pernah mendampingi anak-anaknya saat perasaan anak sedang terluka.


Orangtua yang membiasakan untuk memberikan pengertian kepada anak-anaknya setelah marah atau meluapkan emosi yang tinggi, bisa mengurangi timbulnya trauma dalam diri anak.

Bagaimana cara mengetahui aku memiliki trauma atau tidak?

Sebuah trauma itu biasanya meliputi 2 hal, ingatan dan emosi. Bila sebuah pengalaman negatif terjadi di masa lalu maka akan terekan ke dalam otak anak peristiwanya dan emosi yang dirasakan. Nah, kalau ada sebuah peristiwa yang masih sering menghantui dari masa lalu (padahal terjadinya sudah lebih dari 10 tahun yang lalu) dan bila mengingat peristiwa tersebut masih merasakan emosi yang berlebihan seperti marah, sedih, kecewa dan lain sebagainya; artinya trauma itu masih melekat di dalam diri kita.


Seringkali anak belajar untuk menghilangkan perasaan (sedih, kecewa, marah, dsb.) untuk menghindari rasa sakitnya karena perasaan negatif yang intens. Lama-kelamaan menjadi terbiasa dan akhirnya mati rasa (tidak mampu merasakan apa-apa bahkan emosi positif sekalipun)

Namun bisa juga kebalikannya, apabila kita melupakan peristiwa negatif itu dan banyak lupa tentang ingatan di masa kecil, atau tidak lagi merasakan apapun (tetapi kita merasa sulit untuk merasa bahagia) artinya childhood trauma masih menempel di dalam diri kita. Seringkali anak belajar untuk menghilangkan perasaan (sedih, kecewa, marah, dsb.) untuk menghindari rasa sakitnya karena perasaan negatif yang intens. Lama-kelamaan menjadi terbiasa dan akhirnya mati rasa (tidak mampu merasakan apa-apa bahkan emosi positif sekalipun).


2 kondisi diatas bisa menjadi salah satu tolak ukur apakah kita masih memiliki childhood trauma atau tidak. Sebenarnya ada beberapa cara lagi yang bisa menjadi gambaran masih atau tidaknya seseorang memiliki childhood trauma, tetapi nanti aja dibahasnya di artikel lain ya :)


Aku juga mau membahas tentang bagaimana caranya untuk bisa melepaskan childhood trauma yang masih menempel. Tetapi alangkah menyenangkannya kalau kita bisa mengidentifikasi tipe trauma apa yang dimiliki oleh diri kita masing-masing.


Nah, untuk itu akan ada pertanyaan yang bisa membantu teman-teman untuk mengetahui tipe trauma di artikel selanjutnya ya.


Punya trauma masa kecil dan ingin menyelesaikannya? Buat appointment untuk konsultasi sama aku ya.



Semoga bermanfaat :)



Comentários


bottom of page